Jumat, Mei 30, 2008

Liquid Crystal Display : Cair, tapi Padat!

PADAT dan cair jelas merupakan dua sifat benda yang berbeda. Lantas, bagaimana dong caranya kristal yang seharusnya padat tiba-tiba bisa disebut cair? GUYS, ini bukan MAGIC PHYSICS!

APA itu liquid crystal display (LCD)? Rasanya istilah itu sering sekali disebut- sebut di dunia elektronik. Tentu saja! Bentuk paling sederhana dari teknologi LCD ini terdapat di kalkulator yang kita gunakan sehari-hari, atau penunjuk waktu (timer) pada microwave saat memanggang kue, dan tampilan jam digital. Bentuk paling canggih yang masih dapat kita nikmati di sekeliling kita ada pada layar monitor komputer dan laptop. Bagaimana cara kerja LCD?

Konsep liquid crystal (kristal cair)

Liquid crystal diterjemahkan kristal cair. Aneh sekali.... Bukankah kristal itu seharusnya padat? Mana mungkin kristal itu berbentuk cair? Mengapa digunakan nama yang aneh?

Padat dan cair merupakan dua sifat benda yang berbeda. Molekul-molekul benda padat tersebar secara teratur dan posisinya tidak berubah-ubah, sedangkan molekul-molekul zat cair letak dan posisinya tidak teratur karena dapat bergerak acak ke segala arah. Pada tahun 1888 seorang ahli botani, Friedrich Reinitzer, menemukan fase yang berada di tengah-tengah antara fase padat dan cair. Fase ini memiliki sifat-sifat padat dan cair secara bersama-sama. Molekul- molekulnya memiliki arah yang sama seperti sifat padat, tetapi molekul-molekul itu dapat bergerak bebas seperti pada cairan. Fase kristal cair ini berada lebih dekat dengan fase cair karena dengan sedikit penambahan temperatur (pemanasan), fasenya langsung berubah menjadi cair. Sifat ini menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap temperatur. Sifat inilah yang menjadi dasar utama pemanfaatan kristal cair dalam teknologi.

Untuk memahami sensitivitas kristal cair terhadap suhu, kita bisa menggunakan yang dikenal sebagai mood ring. Mood ring dianggap sebagai cincin ajaib yang punya daya magis yang dapat membaca emosi pemakainya. Saat si pemakai sedang marah atau tegang, batu cincin tersebut berubah warna menjadi hitam. Sementara saat si pemakai sedang tenang, batu berwarna biru. Berbagai emosi lainnya bisa diketahui berdasarkan perubahan warna batu cincin magis ini.

Magis (magical)? Ataukah fisika (physical)? Tentu saja fisika! Karena, batu cincin ini diisi dengan materi kristal cair yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu, sekecil apa pun perubahannya. Perubahan suhu menyebabkan terpilinnya struktur molekul (twist) sehingga panjang gelombang cahaya yang diserap atau direfleksikan berubah pula. Perubahan suasana hati atau emosi si pemakai cincin menyebabkan perubahan suhu tubuh yang kemudian memengaruhi suhu kristal cair yang terkandung dalam batu tersebut.

Sewaktu suhu meningkat, molekul kristal cair terpilin dan menyebabkan warna merah dan hijau lebih banyak diserap dan warna biru lebih banyak direfleksikan sehingga warna yang terlihat adalah biru tua. Warna ini menunjukkan keadaan hati yang sedang bahagia dan bergairah karena saat bahagia, suhu tubuh paling tinggi (pembuluh kapiler semakin mendekati permukaan kulit dan melepaskan panas). Suhu tubuh minimum saat sedang tegang karena pembuluh kapiler masuk semakin dalam sehingga suhu turun (digambarkan dengan warna hitam sebagai warna yang ditunjukkan kristal cair pada suhu terendah).

Selain temperatur, kristal cair juga sangat sensitif terhadap arus listrik (beda potensial). Prinsip semacam inilah yang digunakan dalam teknologi LCD. Ini sebabnya layar laptop terkadang terlihat berbeda di musim dingin atau saat digunakan di cuaca sangat panas.

Nematic liquid crystal

Jenis kristal cair yang digunakan dalam pengembangan teknologi LCD adalah tipe nematic (molekulnya memiliki pola tertentu dengan arah tertentu). Tipe yang paling sederhana adalah twisted nematic (TN) yang memiliki struktur molekul yang terpilin secara alamiah (dikembangkan pada tahun 1967). Struktur TN terpilin secara alamiah 90. Struktur TN ini dapat dilepas pilinannya (untwist) dengan menggunakan arus listrik.

Pada gambar 2, kristal cair TN (D) diletakkan di antara dua elektroda (C dan E) yang dibungkus lagi (seperti sandwich) dengan dua panel gelas (B dan F) yang sisi luarnya dilumuri lapisan tipis polarizing film. Lapisan A merupakan cermin yang dapat memantulkan cahaya yang berhasil menembus lapisan-lapisan sandwich LCD. Kedua elektroda dihubungkan dengan baterai sebagai sumber arus. Panel B memiliki polarisasi yang berbeda 90 dari panel F.

Begini cara kerja sandwich ajaib ini. Cahaya masuk melewati panel F sehingga terpolarisasi. Saat tidak ada arus listrik, cahaya lewat begitu saja menembus semua lapisan, mengikuti arah pilinan molekul- molekul TN (90), sampai memantul di cermin A dan keluar kembali. Akan tetapi, ketika elektroda C dan E (elektroda kecil berbentuk segi empat yang dipasang di lapisan gelas) mendapatkan arus, kristal cair D yang sangat sensitif terhadap arus listrik tidak lagi terpilin sehingga cahaya terus menuju panel B dengan polarisasi sesuai panel F. Panel B yang memiliki polarisasi yang berbeda 90 dari panel F menghalangi cahaya untuk menembus terus. Dikarenakan cahaya tidak dapat lewat, pada layar terlihat bayangan gelap berbentuk segi empat kecil yang ukurannya sama dengan elektroda E (berarti pada bagian tersebut cahaya tidak dipantulkan oleh cermin A).

Sifat unik yang dapat langsung bereaksi dengan adanya arus listrik ini dimanfaatkan sebagai alat ON/OFF LCD. Namun, sistem ini masih membutuhkan sumber cahaya dari luar. Komputer dan laptop biasanya dilengkapi dengan lampu fluorescent yang diletakkan di atas, samping, dan belakang sandwich LCD supaya dapat menyebarkan cahaya (backlight) sehingga merata dan menghasilkan tampilan yang seragam di seluruh bagian layar.

Mudah bukan? Akan tetapi, tunggu dulu, perancangan dan pembuatan LCD tidak semudah konsepnya. Masalah pertama disebabkan oleh tidak ada satu pun senyawa TN yang sudah ditemukan yang dapat memberikan karakteristik paling ideal. Wah, ini berarti kristal cair yang digunakan harus merupakan campuran berbagai senyawa TN. Untuk mencampur senyawa-senyawa ini, diperlukan percobaan untuk menentukan formulasi terbaik, dan hal ini bukan hal mudah. Kadang-kadang dibutuhkan sampai 20 macam senyawa TN untuk mendapatkan karakteristik yang diinginkan. Bayangkan, mencampur dua macam senyawa saja sudah sangat sulit karena karakteristik masing-masing (misalnya rentang suhu) saling memengaruhi. Belum lagi penentuan titik leleh campuran yang terbentuk. Selain itu, kristal cair TN yang terpilin sebesar 90 membutuhkan beda potensial sebesar 100 persen untuk mencapai posisi untwist (posisi ON). Wow!!! Besar sekali! Dan, sangat tidak efisien! Lalu, bagaimana jalan keluarnya?

Super-twisted nematic dan thin-film transistor

Pada tahun 1980, Colin Waters (Inggris) memberikan solusi bagi masalah ini. Ia bersama Peter Raynes menemukan bahwa semakin besar derajat pilinan, beda potensial yang dibutuhkan semakin kecil. Pilinan yang menunjukkan beda potensial paling kecil adalah 270. Penemuan ini menjadi dasar dikembangkannya super-twisted nematic (STN) yang sampai sekarang digunakan pada telepon seluler sampai layar laptop.

Pada waktu yang hampir bersamaan pula, Peter Le Comber dan Walter Spear (juga dari Inggris) menemukan solusi lain dengan cara menggunakan bahan semikonduktor silikon amorf untuk membuat thin-film transistor (TFT) pada tiap pixel TN. Metode ini menghasilkan tampilan dengan kualitas tinggi, tetapi memerlukan biaya produksi yang sangat mahal dan melibatkan proses pembuatan yang rumit. Tentu saja rumit! Karena, untuk menghasilkan gambar dengan kualitas 256 subpixel, diperlukan sejumlah 256 pixel warna merah x 256 pixel biru x 256 pixel hijau. Tunggu sebentar! 256 x 256 x 256 = 16.8 juta. 16.8 juta transistor super mini harus dibuat dan dilekatkan ke lapisan TN? Rumit dan melelahkan! Tentu saja biayanya menjadi sangat mahal!

Akan tetapi, seiring dengan semakin majunya teknologi, biaya pembuatan TFT sedikit demi sedikit bisa ditekan karena ada penyederhanaan proses pembuatannya. Namun, STN pun tidak mau kalah saingan! Kualitas tampilan STN semakin lama pun semakin baik sehingga keduanya terus bersaing ketat dan mendominasi pasar.

Perkembangan teknologi LCD semakin pesat dalam dekade terakhir. Kepopuleran LCD terutama karena kualitas gambar yang baik, konsumsi energi yang kecil, serta kekuatan materi kristal cair yang tidak pernah mengalami degradasi. Penelitian lanjut terus dikembangkan untuk mencapai target yang sangat bervariasi, mulai dari usaha memproduksi LCD untuk ukuran layar yang semakin besar sampai kemungkinan alternatif komponen dengan bahan plastik yang lebih ringan. Sasaran utama yang paling dikejar sebagian besar produsen adalah LCD yang tidak lagi menggunakan backlight.

Akan tetapi, apa pun tujuan pengembangan teknologi yang sedang mengalami kemajuan pesat ini, semuanya membutuhkan pemahaman dan penelitian fisika secara lebih mendalam. Kemungkinan pengembangan yang dapat dilakukan masih sangat luas. Siapa pun bisa menghasilkan solusi-solusi baru yang lebih canggih dan diterima masyarakat sebagai kemajuan teknologi modern. Bagaimana dengan Indonesia? Ada yang mau berpartisipasi? Ada yang berminat mengikuti jejak Pierre-Gilles de Gennes yang pernah memenangi Nobel Fisika (1991) karena "iseng" meneliti tentang penyebaran cahaya pada materi kristal cair ini? Yang pasti, kesempatan masih terbuka lebar. Makanya, yuk? kita ramai-ramai belajar fisika!

Tidak ada komentar: